Kurang lebih dua bulan yang lalu, berita mengenai kontroversi penggunaan obat puyer marak diberitakan di berbagai media, bahkan salah satu stasiun televisi swasta menayangkan secara eksklusif dan membahas tema ini berulang kali. Peresepan obat puyer dianggap tidak layak dengan berbagai alasan : polifarmasi, tidak higien, ketinggalan jaman dan sebagainya. Saya pikir berita ini cukup menambah deretan dosa penyedia layanan kesehatan serta mempertegas mindset dan opini publik mengenai buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia.
Walaupun sekarang berita ini tidak lagi hangat di media massa, terganti oleh tema pemilu 2009, namun masih ada beberapa berita berisi pengalaman publik mengenai kegagalan pelayan kesehatan dalam pemberian resep, atau bahasa kerennya pola peresepan yang tidak rasional. Ternyata masih ada saja dan akan terus ada berita-berita seperti ini. Saya baru saja membaca dari sebuah forum komunitas terbesar di Indonesia (katanya gan!), dan ironisnya, pengalaman ini dirasakan sendiri oleh seorang dokter. Ia berkeluh kesah mengenai teman sejawatnya yang melakukan peresepan polifarmasi yang menurutnya tidak perlu diberikan terhadap saudaranya yang sedang dirawat di salah satu rumah sakit swasta.
Mengulas sedikit mengenai pola peresepan irasional : apakah pola peresepan irasional itu? Peresepan obat tidak rasional merupakan peresepan obat yang tidak seharusnya. Saya akan mencoba mempersingkat, intinya adalah peresepan tidak pada tempatnya, berlebihan atau kurang (pada banyak kasus adalah berlebihan, memberikan obat bermacam-macam padahal tidak perlu, polifarmasi), walaupun definisi ini mencakup hal yang luas. Pemberian obat yang tidak seharusnya diberikan, tidak mengikuti kaidah ilmu berbasis bukti (evidence-based medicine), pemberian dosis yang tidak sesuai, , pemberian obat yang mahal padahal tersedia obat yang murah hingga pemakaian obat yang disuntikan (tanpa indikasi, tentunya) juga terkategori sebagai peresepan irasional. Banyak hal yang tidak diketahui publik! Polemik obat puyer ditambah berita-berita santer mengenai malpraktik saja sudah membuat publik semakin yakin bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia buruk. Apalagi jika publik mengetahui dengan cermat dan mengkritisi banyak hal inside this sector, bisa-bisa orang-orang kelas atas akan semakin yakin dan bangga untuk mencari pelayanan kesehatan ke negeri seberang.
Dampak yang disebabkan oleh peresepan yang tidak rasional mencakup berbagai hal. Saya tidak akan membuat pandangan yang subyektif, entah dampaknya besar atau tidak, ini semua tergantung. Yang paling mungkin dirasakan oleh masyarakat adalah pembiayaan kesehatan yang mahal. Mari kita ambil beberapa contoh peresepan yang tidak rasional (diambil dari kasus curhatan yang saya baca tadi yah!). Seorang dokter meresepkan ranitidin suntik (obat sakit lambung, maag), parasetamol bermerek yang terus diresepkan walau pasien mengaku sudah mempunyai parasetamol dan ondansentron (obat anti muntah). Sementara pasien diduga Demam berdarah karena trombositnya hanya berjumlah 82.000 (normal : 150.000-450.000) dan tidak mengeluhkan adanya mual, muntah dan maag serta sudah mempunyai parasetamol generik . Hal ini yang dianggap tidak rasional olehnya. Hitung saja jumlah kesalahan yang terkategori sebagai peresepan obat tidak rasional. Ya, keselahan peresepan seringkali terjadi tidak hanya satu kesalahan dalam satu waktu, bisa saja dua atau tiga kesalahan.
Kenapa hal ini terjadi? Pekerjaan dokter rentan dengan pekerjaan mendagangkan obat. Dokter dapat meresepkan obat-obatan mahal dan bermerek. Peresepan hingga jumlah tertentu akan menguntungkan pihak pabrik obat dan tentunya dokter yang merespkan. Hal ini tentunya dapat merugikan pasien yang kondisi keuangannya minimal. Namun ada saja mindset, sugesti mungkin, pasien langganan yang menganggap obat mahal adalah obat paten. Mungkin saja, memang! Namun, secara tidak langsung, sebagian masyarakat mendukung kondisi peresepan ini. Hal ini tidak jarang ditemui bahkan di kota kecil sekalipun. Saya sedang menjalani masa koasistensi muda pre klinik waktu itu. Saat sedang follow up pasien, Saya iseng ngobrol dengan pasien tersebut. Ternyata pasien itu masuk rumah sakit karena ingin di tangani langsung oleh dokter spesialis penyakit dalam langganannya (sedang bertugas menjadi konsulen pada minggu itu), karena dianggap obatnya paten. Ia mengaku rela membayar asalkan dokter tersebut yang memberikan resepnya.
Ternyata banyak juga kondisi sosial yang mendukung peresepan obat tidak rasional. Cerita lainnya adalah saat Saya sedang menjalani praktek lapangan di Puskesmas, Saya dibimbing oleh dokter umum yang bertugas dipuskesmas tersebut. Datang seorang nenek yang sudah langganan ke puskesmas itu. Sang nenek mengeluhkan, disetiap kunjungannya, pegel-pegel dan mata yang pandangannya kabur. Tua memang rentan dengan kondisi rematik atau nyeri sendi lainnya dan mata katarak yang membuat penglihatannya tidak jernih lagi. Dokter puskesmas memberikan asam mefenamat (anti nyeri) dan obat salep mata. Saya sempat bertanya mengapa diberikan salep mata, yang juga mengandung antibiotik? Sang dokter menjawab bahwa persediaan obat tetes yang biasa diberikan untuk kataraknya habis. Pasien merasa puas dan lebih baik jika diberikan tetes mata, dan pasien ini rutin datang jika obat tetes matanya telah habis. Intinya karena terbiasa diberikan resep untuk mata dan karena keluhannya adalah matanya, maka dokter memberikan penanganan untuk keluhan mata itu. Medicine is art, masing-masing dokter mempunyai cara tersendiri untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan. Namun, akhirnya pola yang seperti ini yang membawa dampak. Pola pikir pasien bahwa datang ke dokter maka pulang harus membawa obat, juga mendukung kepada peresepan yang tidak rasional.
Banyak hal lain yang menyebabkan hal ini sulit untuk dihindari, termasuk pelayan kesehatan yang tidak profesional, kurang berpengalaman, tidak mempunyai pedoman pemberian obat dan tidak tahu menahu dengan baik ilmu peracikan obat. Dokter, apoteker , peramu obat dan pemerintah tidak bisa disalahkan sepenuhnya, tapi Saya setuju bahwa komponen ini bertanggungjawab untuk perubahan yang lebih baik. Dan tentunya masyarakat juga harus berpartisipasi.
Lalu apa yang bisa diperbuat?
Pasien diharapkan lebih cermat. Pasien mempunyai hak untuk bertanya, mendapatkan penjelasan atas apa yang diberikan dokter serta mendapatkan resep generik jika tidak mampu membeli obat bermerek. Sebaliknya, dokter pun hendaknya berdiskusi dan memberikan penjelasan mengenai apa yang ia berikan kepada pasiennya.
Upaya perbaikan harus menyentuh sektor pendidikan bagi dokter serta kebijakan di masing-masing instansi pelayanan kesehatan. Rumah sakit hendaknya mempunyai komite yang bertanggung jawab terhadap kebijakan obat dan tindakan sebagai petunjuk bagi pemberi resep agar terhindar dari pemberian resep yang tidak rasional. Pada intinya, upaya perbaikan harus didukung oleh seluruh komponen yang terlibat, pemerintah, masyarakat, dan penyedia layanan kesehatan untuk mengatasi permasalahan peresepan obat yang tidak rasional.
Silakan baca referensi ini :